BAHAYA BERBUAT RIYA'
Kata riya’ diambil dari kata ru’yah, dan yang dimaksud adalah menampakkan amal sholeh/ibadah kepada orang-orang dengan tujuan agar mendapat pujian/dilihat manusia agar mereka memuji pelakunya.
Sedangkan Sum’ah yaitu beramal demi reputasi. Perbedaan antara riya’ dan sum’ah, yaitu bahwa riya’ adalah adanya amal yang diperlihatkan seperti sholat, sedangkan sum’ah karena adanya amal yang diperdengarkan se-perti membaca, memberi nasihat atau dzikir, menceritakan tentang amalnya juga termasuk sum’ah. Riya’ dan sum’ah termasuk Syirik kecil, jadi wajib ditinggalkan. Adapun apabila memperbagus suatu amal/ibadah kita kepada Alloh swt untuk keridhoan Alloh, memperbagus se-suai dengan yang diajarkan oleh Rosululloh saw (berdasarkan dalil) maka hal ini dianjurkan.
Begitu pula dengan bacaan dzikir, boleh diperdengarkan (dengan suara sir) kepada orang lain dengan tujuan memberikan pembelajaran kepada masyarakat awam, sama halnya dengan memperlihatkan gerakan sholat.
Karena Nabi saw pernah memperdengarkan bacaan dzikir beliau kepada shahabatnya {catatan: bukan Dzikir berJama’ah/koor, karena Nabi saw melarang hal demikian dan dilarang dalam Qs. Al-A’rof (7): 55 & 205}. Beliau pernah memperlihatkan sholat beliau saw dengan cara naik keatas mimbar pada saat berdiri dan beliau juga memerintahkan kepada kita agar sholat kita sesuai dengan tata cara sholat belia saw. Begitu pula dengan para shahabat dengan berlomba-lomba dalam berinfak/beramal kebaikan. Jadi perbedaan antara riya dengan bukan riya (memperlihatkan yang diperbolehkan berdasarkan contoh tersebut diatas) adalah tujuan/niatnya seseorang. Yaitu boleh dengan tujuan untuk keridhoan Alloh swt, bukan untuk mendapatkan pujian seseorang atau demi reputasi.
Berkenaan dengan riya’, Alloh swt berfirman, yang artinya:
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. {Qs. Al-Kahfi (18) : 110}.
Saudaraku, dalam Qs.Al-Kahfi: 110 diatas, kita dilarang berbuat syirik walaupun hanya sedikit. Dengan bentuk nakiroh dalam konteks nahi (larangan) menunjukkan keumumannya, dan bentuk umum ini mencakup para nabi, malaikat, orang-orang shalih, para wali dan lainnya. Sebagaimana Alloh adalah satu dan tidak ada sesembahan selainNya. Begitu pula hendaknya ibadah, hanya untukNya saja yang tidak ada sekutu bagiNya. Demikian juga halnya jika hanya Dia sebagai sembahan, maka wajiblah mengesakanNya dalam penghambaan, karena amal yang shalih adalah amal yang bersih dari riya’ dan terikat dengan as-Sunnah. Dalam ayat tersebut ada dalil, bahwa dasar din Islam yang dibawa Rosululloh saw dan rosul-rosul sebelumnya yaitu tauhid, mengesakan Alloh dengan segala macam ibadah yang diajarkan olehNya, {Lihat Qs. Al Anbiyaa’ (21): 25}.
Umat yang membangkang terhadap dasar ini ada beberapa kelompok, bisa berupa thogut yang menandingi Alloh dalam rububiyah dan ilahiyahNya dan mengajak manusia untuk menyembah dirinya, bisa berupa thogut yang mengajak manusia untuk menyembah berhala, atau bisa berupa orang musyrik yang menyeru kepada selain Alloh dan mendekatkan diri kepadanya dengan segala maupun sebagian jenis penyembahan (peribadatan), atau orang yang ragu dalam tauhid apakah hanya hak Alloh atau boleh menjadikan sekutu bagiNya dalam beribadah? Atau orang bodoh yang mempercayai bahwa kemusyrikan adalah agama yang mendekatkan diri kepada Alloh. Inilah yang biasa terjadi pada kebanyakan orang awam, karena kebodohan dan taklid mereka kepada orang-orang sebelumnya, tatkala Islam menjadi sangat asing bagi mereka dan ilmu pengetahuan islam yang disampaikan oleh para rosul telah banyak yang dilupakan.
Saudaraku, niatkanlah amal ibadah kita hanya untuk Alloh. Tahukah anda, bahwa Barangsiapa yang meniatkan amal ibadahnya untuk makhluk/untuk selain Alloh, maka Alloh akan meninggalkan pelaku syirik tersebut bersama sekutunya. Diriwayatkan dari Abu Huroiroh ra, bahwa Rosululloh saw bersabda,
“Alloh Ta’ala berfirman, ‘Aku adalah (sekutu) yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dengan dicampuri perbuatan syirik kepada-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima) amal syiriknya itu,’” (HR. Muslim). Dalam riwayat Ibnu Majah, “Maka Aku berlepas diri (darinya) dan dia untuk sekutunya.” (HR.Muslim).
Rosululloh saw bersabda:
“Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan,” (HR. Ibnu Babawih).
Dalam syarah Hadits “sesungguhnya sah-nya amal hanya dengan niat” dalam Jami’ al ‘Ulum wa al Hikam. Ibnu Rajab rohimahulloh berkata, “Ketahuilah bahwa amal untuk selain Alloh ada banyak macamnya. Terkadang hanya riya’ murni, seperti perilaku orang-orang munafik sebagaimana firman Alloh,
yang artinya:
“…dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” {Qs. An-Nisaa’ (4): 142}.
Riya’ murni ini biasanya tidak akan terjadi pada seorang mukmin dalam menjalan-kan kewajiban sholat dan puasa, akan tetapi terkadang terjadi dalam sedekah yang wajib atau ibadah haji atau amal-amal lainnya yang zhahir atau amal-amal yang manfaatnya lebih banyak.
Dalam hal-hal semacam ini ikhlas adalah berat. Tidak diragukan oleh seorang muslim bahwa amal ini dapat menggugurkan ibadah-nya, dan pelakunya berhak mendapatkan murka dan siksa dari Alloh. Terkadang pula orang beramal karena Alloh tetapi dibarengi dengan riya’. Jika riya’ itu mengiringi amalnya sejak niat awal, maka sesungguhnya perbuatan riya’ ini sama halnya meniatkan ibadah kepada sekutuNya”. Banyak nash shahih yang menunjukkan kebatilannya.
Ibnu Rojab menyebutkan banyak hadits tentang itu, diantaranya hadits ini dan hadits Syaddad bin Aus yang diriwayatkan secara marfu’,
“Barangsiapa sholat dengan riya’, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Barangsiapa berpuasa dengan riya’, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Barangsiapa bersedekah dengan riya, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku adalah sebaik-baik pengambil bagian bagi orang yang membuat sekutu kepadaku. Barangsiapa membuat sekutu kepadaKu dengan sesuatu, maka kebaikan amalnya –sedikit dan banyaknya- adalah untuk sekutunya yang ia sekutukan kepada-Ku dengannya. Aku adalah Maha Cukup untuk tidak menerimanya.’” (HR. Ahmad).
Kemudian Ibnu Rajab berkata, “Jika mencampurkan niat jihad –umpamanya- dengan niat selain riya’, seperti untuk mengambil bayaran tugas atau mengambil sesuatu dari ghonimah atau untuk berdagang, maka berkuranglah pahala jihadnya dan tidak membatalkannya secara keseluruhan.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra, ia berkata, “Jika salah seorang diantara kamu telah bertekad untuk berperang, lalu Alloh menggantinya dengan rezeki, maka tidak apa-apa dengan itu. Adapun apabila salah seorang diantara kamu jika diberi dirham ia berperang dan jika tidak diberi tidak berperang, dengan demikian tidak ada kebaikan dalam perbuatannya itu.”
Begitupula dengan haji seorang pemandu unta dan haji pesuruh serta haji pedagang, haji ini tetap sempurna tidak mengurangi pahala mereka sama sekali. Karena tujuan me-reka yang asli adalah haji, bukan usaha.
Mujahid berkata, “Adapun jika amal asli-nya karena Alloh kemudian tiba-tiba ada niat riya’ dan dia berusaha untuk menghilangkannya, maka hal itu tidak membahayakannya.” Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama. Namun jika ia terus membiarkannya, apakah riya itu menghapus amalnya atau tidak dan apakah ia mendapat pahala berdasarkan niat aslinya? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama salaf. Imam Ahmad dan Ibnu Jarir memilih bahwa amalnya tidak batil dengan adanya riya’ itu, dan pelakunya mendapat pahala berdasarkan niat aslinya. Ini riwayat dari al Hasan dan lainnya. Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr dari Nabi saw, “Beliau ditanya tentang seseorang yang melakukan suatu amal kebaikan, lalu orang-orang memujinya. Maka beliau bersabda, ‘Itu adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin’.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id ra secara marfu’, bahwa Rosululloh saw bersabda,
“Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kamu daripada al Masih ad-Dajjal. Para saha-bat menjawab, ‘baiklah, ya Rosululloh,’ Beliau bersabda, ‘Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan sholat, dia perindah sholatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya’.” (HR. Imam Ahmad).
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Ikhlas adalah syarat sah dan diterimanya amal seseorang, begitu pula mutaba’ah (mengikuti syariah) sebagaimana al Fudhail bin Iyadh rohimahulloh berkata dalam menafsirkan firman Alloh Ta’ala,
“… supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. ...” {Qs. Al-Mulk (67): 2}.
Ia berkata, “Yang paling ikhlas dan paling benar amalnya.” Kemudian ia ditanya, “Wahai
Abu Ali!, Apa itu yang paling Ikhlas dan paling benar?” ia menjawab, “Sesungguhnya amal jika dalam keadaan ikhlas dan tidak benar, tidak akan diterima. Jika dalam keadaan benar dan tidak ikhlas, tidak diterima pula. Amal itu harus ikhlas dan benar /ittiba’ (pengikutan, sesuai apa yang dicontohkan dan diperintahkan/mengikuti syariah). Amal yang ikhlas adalah amal yang karena Alloh, dan amal yang benar yaitu amal yang berdasarkan as-Sunnah (sunnah rosululloh saw).”
Saudaraku, keumuman dari Syirik kecil (Syrik Ashghor) hukumnya tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam, tetapi hal ini dapat menyebabkannya menjadi syirik Akbar, tergantung keadaan orang tersebut dan tujuannya. Dia wajib bertaubat dari syirik ini dan dari segala dosa. Apakah kita ingin, amal ibadah kita menjadi sia-sia?
Sedangkan Sum’ah yaitu beramal demi reputasi. Perbedaan antara riya’ dan sum’ah, yaitu bahwa riya’ adalah adanya amal yang diperlihatkan seperti sholat, sedangkan sum’ah karena adanya amal yang diperdengarkan se-perti membaca, memberi nasihat atau dzikir, menceritakan tentang amalnya juga termasuk sum’ah. Riya’ dan sum’ah termasuk Syirik kecil, jadi wajib ditinggalkan. Adapun apabila memperbagus suatu amal/ibadah kita kepada Alloh swt untuk keridhoan Alloh, memperbagus se-suai dengan yang diajarkan oleh Rosululloh saw (berdasarkan dalil) maka hal ini dianjurkan.
Begitu pula dengan bacaan dzikir, boleh diperdengarkan (dengan suara sir) kepada orang lain dengan tujuan memberikan pembelajaran kepada masyarakat awam, sama halnya dengan memperlihatkan gerakan sholat.
Karena Nabi saw pernah memperdengarkan bacaan dzikir beliau kepada shahabatnya {catatan: bukan Dzikir berJama’ah/koor, karena Nabi saw melarang hal demikian dan dilarang dalam Qs. Al-A’rof (7): 55 & 205}. Beliau pernah memperlihatkan sholat beliau saw dengan cara naik keatas mimbar pada saat berdiri dan beliau juga memerintahkan kepada kita agar sholat kita sesuai dengan tata cara sholat belia saw. Begitu pula dengan para shahabat dengan berlomba-lomba dalam berinfak/beramal kebaikan. Jadi perbedaan antara riya dengan bukan riya (memperlihatkan yang diperbolehkan berdasarkan contoh tersebut diatas) adalah tujuan/niatnya seseorang. Yaitu boleh dengan tujuan untuk keridhoan Alloh swt, bukan untuk mendapatkan pujian seseorang atau demi reputasi.
Berkenaan dengan riya’, Alloh swt berfirman, yang artinya:
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. {Qs. Al-Kahfi (18) : 110}.
Saudaraku, dalam Qs.Al-Kahfi: 110 diatas, kita dilarang berbuat syirik walaupun hanya sedikit. Dengan bentuk nakiroh dalam konteks nahi (larangan) menunjukkan keumumannya, dan bentuk umum ini mencakup para nabi, malaikat, orang-orang shalih, para wali dan lainnya. Sebagaimana Alloh adalah satu dan tidak ada sesembahan selainNya. Begitu pula hendaknya ibadah, hanya untukNya saja yang tidak ada sekutu bagiNya. Demikian juga halnya jika hanya Dia sebagai sembahan, maka wajiblah mengesakanNya dalam penghambaan, karena amal yang shalih adalah amal yang bersih dari riya’ dan terikat dengan as-Sunnah. Dalam ayat tersebut ada dalil, bahwa dasar din Islam yang dibawa Rosululloh saw dan rosul-rosul sebelumnya yaitu tauhid, mengesakan Alloh dengan segala macam ibadah yang diajarkan olehNya, {Lihat Qs. Al Anbiyaa’ (21): 25}.
Umat yang membangkang terhadap dasar ini ada beberapa kelompok, bisa berupa thogut yang menandingi Alloh dalam rububiyah dan ilahiyahNya dan mengajak manusia untuk menyembah dirinya, bisa berupa thogut yang mengajak manusia untuk menyembah berhala, atau bisa berupa orang musyrik yang menyeru kepada selain Alloh dan mendekatkan diri kepadanya dengan segala maupun sebagian jenis penyembahan (peribadatan), atau orang yang ragu dalam tauhid apakah hanya hak Alloh atau boleh menjadikan sekutu bagiNya dalam beribadah? Atau orang bodoh yang mempercayai bahwa kemusyrikan adalah agama yang mendekatkan diri kepada Alloh. Inilah yang biasa terjadi pada kebanyakan orang awam, karena kebodohan dan taklid mereka kepada orang-orang sebelumnya, tatkala Islam menjadi sangat asing bagi mereka dan ilmu pengetahuan islam yang disampaikan oleh para rosul telah banyak yang dilupakan.
Saudaraku, niatkanlah amal ibadah kita hanya untuk Alloh. Tahukah anda, bahwa Barangsiapa yang meniatkan amal ibadahnya untuk makhluk/untuk selain Alloh, maka Alloh akan meninggalkan pelaku syirik tersebut bersama sekutunya. Diriwayatkan dari Abu Huroiroh ra, bahwa Rosululloh saw bersabda,
“Alloh Ta’ala berfirman, ‘Aku adalah (sekutu) yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dengan dicampuri perbuatan syirik kepada-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima) amal syiriknya itu,’” (HR. Muslim). Dalam riwayat Ibnu Majah, “Maka Aku berlepas diri (darinya) dan dia untuk sekutunya.” (HR.Muslim).
Rosululloh saw bersabda:
“Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan,” (HR. Ibnu Babawih).
Dalam syarah Hadits “sesungguhnya sah-nya amal hanya dengan niat” dalam Jami’ al ‘Ulum wa al Hikam. Ibnu Rajab rohimahulloh berkata, “Ketahuilah bahwa amal untuk selain Alloh ada banyak macamnya. Terkadang hanya riya’ murni, seperti perilaku orang-orang munafik sebagaimana firman Alloh,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا (١٤٢)
yang artinya:
“…dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” {Qs. An-Nisaa’ (4): 142}.
Riya’ murni ini biasanya tidak akan terjadi pada seorang mukmin dalam menjalan-kan kewajiban sholat dan puasa, akan tetapi terkadang terjadi dalam sedekah yang wajib atau ibadah haji atau amal-amal lainnya yang zhahir atau amal-amal yang manfaatnya lebih banyak.
Dalam hal-hal semacam ini ikhlas adalah berat. Tidak diragukan oleh seorang muslim bahwa amal ini dapat menggugurkan ibadah-nya, dan pelakunya berhak mendapatkan murka dan siksa dari Alloh. Terkadang pula orang beramal karena Alloh tetapi dibarengi dengan riya’. Jika riya’ itu mengiringi amalnya sejak niat awal, maka sesungguhnya perbuatan riya’ ini sama halnya meniatkan ibadah kepada sekutuNya”. Banyak nash shahih yang menunjukkan kebatilannya.
Ibnu Rojab menyebutkan banyak hadits tentang itu, diantaranya hadits ini dan hadits Syaddad bin Aus yang diriwayatkan secara marfu’,
“Barangsiapa sholat dengan riya’, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Barangsiapa berpuasa dengan riya’, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Barangsiapa bersedekah dengan riya, maka ia benar-benar telah menyekutukanNya. Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku adalah sebaik-baik pengambil bagian bagi orang yang membuat sekutu kepadaku. Barangsiapa membuat sekutu kepadaKu dengan sesuatu, maka kebaikan amalnya –sedikit dan banyaknya- adalah untuk sekutunya yang ia sekutukan kepada-Ku dengannya. Aku adalah Maha Cukup untuk tidak menerimanya.’” (HR. Ahmad).
Kemudian Ibnu Rajab berkata, “Jika mencampurkan niat jihad –umpamanya- dengan niat selain riya’, seperti untuk mengambil bayaran tugas atau mengambil sesuatu dari ghonimah atau untuk berdagang, maka berkuranglah pahala jihadnya dan tidak membatalkannya secara keseluruhan.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra, ia berkata, “Jika salah seorang diantara kamu telah bertekad untuk berperang, lalu Alloh menggantinya dengan rezeki, maka tidak apa-apa dengan itu. Adapun apabila salah seorang diantara kamu jika diberi dirham ia berperang dan jika tidak diberi tidak berperang, dengan demikian tidak ada kebaikan dalam perbuatannya itu.”
Begitupula dengan haji seorang pemandu unta dan haji pesuruh serta haji pedagang, haji ini tetap sempurna tidak mengurangi pahala mereka sama sekali. Karena tujuan me-reka yang asli adalah haji, bukan usaha.
Mujahid berkata, “Adapun jika amal asli-nya karena Alloh kemudian tiba-tiba ada niat riya’ dan dia berusaha untuk menghilangkannya, maka hal itu tidak membahayakannya.” Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama. Namun jika ia terus membiarkannya, apakah riya itu menghapus amalnya atau tidak dan apakah ia mendapat pahala berdasarkan niat aslinya? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama salaf. Imam Ahmad dan Ibnu Jarir memilih bahwa amalnya tidak batil dengan adanya riya’ itu, dan pelakunya mendapat pahala berdasarkan niat aslinya. Ini riwayat dari al Hasan dan lainnya. Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr dari Nabi saw, “Beliau ditanya tentang seseorang yang melakukan suatu amal kebaikan, lalu orang-orang memujinya. Maka beliau bersabda, ‘Itu adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin’.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id ra secara marfu’, bahwa Rosululloh saw bersabda,
“Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kamu daripada al Masih ad-Dajjal. Para saha-bat menjawab, ‘baiklah, ya Rosululloh,’ Beliau bersabda, ‘Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan sholat, dia perindah sholatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya’.” (HR. Imam Ahmad).
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Ikhlas adalah syarat sah dan diterimanya amal seseorang, begitu pula mutaba’ah (mengikuti syariah) sebagaimana al Fudhail bin Iyadh rohimahulloh berkata dalam menafsirkan firman Alloh Ta’ala,
“… supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. ...” {Qs. Al-Mulk (67): 2}.
Ia berkata, “Yang paling ikhlas dan paling benar amalnya.” Kemudian ia ditanya, “Wahai
Abu Ali!, Apa itu yang paling Ikhlas dan paling benar?” ia menjawab, “Sesungguhnya amal jika dalam keadaan ikhlas dan tidak benar, tidak akan diterima. Jika dalam keadaan benar dan tidak ikhlas, tidak diterima pula. Amal itu harus ikhlas dan benar /ittiba’ (pengikutan, sesuai apa yang dicontohkan dan diperintahkan/mengikuti syariah). Amal yang ikhlas adalah amal yang karena Alloh, dan amal yang benar yaitu amal yang berdasarkan as-Sunnah (sunnah rosululloh saw).”
Saudaraku, keumuman dari Syirik kecil (Syrik Ashghor) hukumnya tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam, tetapi hal ini dapat menyebabkannya menjadi syirik Akbar, tergantung keadaan orang tersebut dan tujuannya. Dia wajib bertaubat dari syirik ini dan dari segala dosa. Apakah kita ingin, amal ibadah kita menjadi sia-sia?
TRANSLATE :
DANGER DO RIYA '
The word riya 'is taken from the word ru'yah, and the question is revealed pious charity / worship to people in order to earn praise / commend people see that they did it.
Meanwhile, the charity for the sake of reputation sum'ah. The difference between riya 'and sum'ah, that riya' is a charity which is shown as prayer, while sum'ah because of the charity that is played like reading, advising or dhikr, told of his deeds also include sum'ah. Riya 'and sum'ah including minor Shirk, so it shall be abandoned. As if adorn a charity / our worship to Allah swt for the pleasure of Allah, adorn suits their Rosululloh taught by Allah (the beard) then this is recommended.
So it is with reading dhikr, may be played (with sound sir) to another person with the purpose of giving lessons to the general public, as well as showing the prayer movement.
Because the Prophet had told him off reading dhikr companions {note: not Dhikr in congregation / choir, because the Prophet forbade such things and prohibited in Qs. Al-A'rof (7): 55 & 205}. He never showed him one way prayer went up the pulpit while standing and he also commanded us to pray our prayers according to the procedure saw young. So it is with the Companions to compete in berinfak / charitable kindness. So the difference between the not riya riya (show allowed by the example above) is the goal / intention somebody. That may be the pleasure of Allah swt purpose, not to praise someone or by reputation.
With regard to riya ', Allah Almighty says, which means:
"Say:" I am only a man like you, who revealed to me: "Behold your God is One God". Anyone expecting an encounter with the Lord let him work righteous deeds, and let him not ascribe one in the worship of his Lord. " {Qs. Al-Kahf (18): 110}.
My brother, in Qs.Al-Kahf: 110 above, we are prohibited from doing shirk although only slightly. With the form in the context nakiroh nahi (prohibition) showed generalization, and common forms include the prophets, angels, righteous people, their carers and others. As Allah is one and there is no god other than. So too should worship only Him alone that no ally to him. Likewise, if only he as gods, then wajiblah mengesakanNya in servitude, because charity is the charitable deeds of the net from riya 'and tied with as-Sunnah. In this verse there is the argument, that the basis of Islam brought Rosululloh din Allah and Prophet-Prophet before the Tawheed, the Oneness of Allah with all kinds of worship that are taught by Him, {See Qs. Al Anbiya (21): 25}.
The people who rebel against this base there are some groups, it could be a rival thogut Allah in rububiyah and ilahiyahNya and invites people to worship him, could be thogut that invites people to worship idols, or it could be the polytheists who calls to other than Allah and get closer to him with all or most types of worship (worship), or people would not believe in Allah, monotheism is just right or should make allies Him in worship? Or a fool would believe that the religion of idolatry is drawing nearer to Allah. This is what happens to most ordinary people, because of their ignorance and imitation to people before, when Islam became very familiar to them and the Islamic sciences delivered by the Prophet had forgotten a lot.
Brother, niatkanlah our deeds only for Allah. Did you know, that He who has intended a charity worship for being / to other than Allah, then Allah will leave the perpetrators of polytheism with its allies. It was narrated from Abu Huroiroh ra, that Rosululloh Allah said,
"Allah Ta'ala says, 'I am the (ally) the Supreme Self, it refused to shirk. Whoever is doing a charity with mixed shirk to me, so I left him and (I thank) charity syiriknya it, '"(Narrated by Muslim). In the history of Ibn Majah, "So I am innocent (her) and she to her allies." (HR.Muslim).
Rosululloh Allah said:
"People who riya characterized by three, namely when in the presence of her perky but when alone he is lazy, and always wanted to be commended in all matters," (Narrated by Ibn Babawih).
In Sharh Hadith 'it real legitimate charity just by intention "in the Jami' al-'Ulum wa al Hikam. Rohimahulloh wrote Ibn Rajab said, "Know that charity for besides Allah there are many kinds. Sometimes just riya 'pure, like the behavior of hypocrites as the word of Allah,
إن المنافقين يخادعون الله وهو خادعهم وإذا قاموا إلى الصلاة قاموا كسالى يراءون الناس ولا يذكرون الله إلا قليلا (142)
which means:
"... And when they stand up to prayer they stand up lazily. They intend riya (in prayer) in the presence of humans. and are not they calling Allah except little. "{Qs. An-Nisaa '(4): 142}.
Riya 'pure usually not going to happen to a believer in running the obligations of prayer and fasting, but sometimes occur in the obligatory alms or pilgrimage or other deeds or deeds Zahir who benefits more.
In these kind of things are heavy hearted. No doubt that a Muslim charity can abort his worship, and the perpetrators deserve the wrath and punishment of Allah. Sometimes also the labor for Allah but coupled with riya '. If riya 'that accompanies his credit since the initial intention, the actual act of riya' is the same intention of worshiping allies ". Many authentic texts that show iniquities.
Ibn Rojab mention many sayings about it, including the hadith and hadith narrated by Shaddad bin Aus is marfu ',
"He prayed with riya ', then he really has menyekutukanNya. Whoever fasts with riya ', then he really has menyekutukanNya. Anyone with riya charity, so he really has menyekutukanNya. Verily Allah Almighty says, 'I was the best decision both for the parts that make me an ally. Whoever makes allies to Me with anything, the charitable goodness-bit and the number-he was to ally sekutukan to me with it. I am the Supreme Self to not accept it. '"(Narrated by Ahmad).
Then Ibn Rajab said, "If the intention of jihad-mix example-with intentions other than riya ', like to take a paid job or take something from ghonimah or to trade, then there is less reward jihad and not canceled as a whole."
Narrated Abdullah ibn Amr ra, he said, "When any one of you have resolved to fight, and then replace it with the blessings of Allah, then that's okay with it. As for when one of you if given the dirham he fought and if not given not at war, so there is no merit in the offense. "
Neither the Hajj pilgrimage a camel driver and lackey and merchants pilgrimage, hajj is still perfect not reduce their reward at all. Since the purpose of the original they are pilgrims, not the business.
Mujahid said, "As if the original charity for Allah, then all of a sudden there is an intention riya 'and he tried to remove it, then it will not harm it." It is not disputed by scholars. But if he continues to allow it, if it removes riya charitable or not and whether he is rewarded by the original intent? In this respect there is no difference of opinion among the scholars of the Salaf. Imam Ahmad and Ibn Jarir chose that charity is not vanity in the presence of riya 'it, and the perpetrator is rewarded based on the original intent. It is narrated from al-Hasan and others. In this case there is the hadeeth narrated by Abu Dharr from the Prophet, "He asked about a person who does good deeds and the people praise him. So he said, 'It is good news that accelerated for a Muslim.' "(Narrated by Muslim).
It was narrated from Abu Sa'eed is marfu ra ', that Rosululloh Allah said,
"Would you tell me about something that I think I'm more worried for you than al Masih ad-Dajjal. The Saha-bat replied, 'Well, yes Rosululloh,' He said, 'hidden Shirk, ie when a person stands to pray, he perindah prayer knowing that there are others who are watching.' "(Narrated by Imam Ahmad).
There is no disagreement that Ikhlas is a valid requirement and acceptance of one's charities, as well as mutaba'ah (follow sharia) as al Fudhail bin Iyadh rohimahulloh wrote said in interpreting the word of Allah the Exalted,
"... That He might try you, which of your better deeds. ... "{Qs. Al-Mulk (67): 2}.
He said, "The most sincere and true charity." Then he asked, "O
Abu Ali!, What is the most Sincere and true? "He replied," Verily, if in a state of sincere charity and not true, it will not be accepted. If the circumstances were right and not sincere, not accepted anyway. Charity must be sincere and true / ittiba '(opt-in, according to the example and commanded / follow sharia). Sincere charity is charity for Allah, and that true charity is charity based as-Sunnah (sunnah Rosululloh PBUH). "
My brother, the generality of the small Shirk (Syrik Ashghor) law does not make a person out of Islam, but this can cause it to become shirk akbar, depending on the person's circumstances and objectives. He shall repent from shirk this and from all sin. Do we want, our deeds become vain?
No comments:
Post a Comment